Ada Harapan Yang Terpancar Dari Wajah Mereka
Juni 01, 2013
Awalnya aku berfikir
apa sih FARDES? Tapi ternyata setelah kegiatanya berlangsung banyak sekali
pelajaran hidup yang aku dapatkan. Fardes ini dilaksanakan di Desa Sukarame
Kecamatan Pacet, Ciparay-Bandung.
Hari minggu, pagi-pagi
sekali aku harus berangkat ke kampus dengan
membawa tas yang gede dan berat, tidak cukup hanya satu tas tapi aku
membawa 2 tas sekaligus. Hari ini merupakan hari pemberangkatan menuju desa sukarame
untuk melaksanakan FarDes (Farmasi Desa) selama 1 minggu.
Setelah perjalan dengan
waktu 3 jam akhirnya sampai juga di desa sukarame tapi perjuangan kita masih
belum selesai. Untuk menuju dusun 3 di desa sukarame haruslah berjalan dahulu
karena mobil yang disewa tidak bisa masuk, jalanya terlalu sempit untuk ukuran mobil truk tentara. Aku
tertegun, bagaimana caranya agar tas-tas yang aku bawa ini terasa ringan, perlukah aku memanggil doraemon? Mustahil -_-“
perjalanan yang kami tempuh untuk sampai ke dusun 3 |
Sesampainya di tempat
yang telah ditentukan yaitu di SDN jamburaya, kami berkumpul dan acara
pembukaan pun berlalu dengan cepat. Setelah pembukaan, kami dipandu oleh
penduduk disana menuju tempat yang akan kami tinggali selama 1 minggu itu. Aku
bersyukur mendapat tempat tinggal di keluarga pak Amin, mereka semua baik
sekali.
bambu inilah yang menjadi tiang bendera di SDN Jamburaya.
|
Keesokan harinya aku
berinisiatif bersama beberapa teman-teman untuk membantu teman-teman yang telah mendatangi SDN dengan tujuan untuk memberikan pengumuman bahwa sore hari nanti
aka ada taman belajar. Waktu pun berlalu
dengan cepat, tibalah sore hari yang dinantikan. Kuliahat anak-anak begitu antusias mengikuti
Taman belajar ini. Aku mengajar di kelas IV. Pertama masuk kelas ku
edarkan senyuman kepada anak-anak yang sudah duduk rapi di bangkunya
masing-masing. kemudian Kharina, salah satu temanku memperkenalkan kami semua
dan membuka kelas hari ini.
Pada waktu berkenalan ini lah memberikan kesan yang mendalam untukku. Satu persatu anak-anak kelas IV harus maju ke depan
untuk memperkenalkan diri seperti nama dan alamat, kemudian aku mengusulkan
untuk memberikan tambahan yaitu hobi dan cita-cita. Aku rasa kebanyakan mereka tidak benar-benar
mengungkapkan cita-cita maupun hobinya, mereka hanya sekedar mengikuti temanya
yang lain. Kebanyakan anak laki-laki mempunyai hobi bermain bola dan cita-cita
menjadi polisi. Sedangkan anak perempuanya bercita-cita menjadi dokter dan hobi
bermain, malah ada yang menyebutkan bermain boneka.
Ada beberapa siswa yang
mempunyai cita-cita yang berbeda,
namanya Diki dia bercita-cita menjadi artis dan Cecep yang berkeinginan menjadi
pelukis karena dia hobi menggambar, aku merinding mendengarnya karena aku lihat dari mata mereka memancarkan kesungguhan dan harapan yang teramat besar. Aku berdoa dalam hati semoga apa yang
mereka cita-citakan dapat terwujud. Yang lebih miris adalah ada beberapa anak
yang kebingungan ketika ditanya apa cita-citanya kelak.
Hari
berikutnya aku menyuruh mereka menggambar apapun kecuali gunung. Kulihat wajah mereka yang kebingungan bahkan
ada yang berkata “aduh teh lier abi mah” (aduh ka pusing saya). Aku heran apa yang sebenernya mereka
bingungkan toh cuma di suruh menggambar saja. Bahkan anak-anak perempuanya
masih tetap nanya-nanya, “teh wiosnya bade ngagambar ieu? Kata wida sambil
menunjuk gambar yang ada di sampul bukunya. “iya, wios” jawabku. Ketika aku melihat
kembali ternyata mereka menjiplak gambarnya. Terserahlah.. karena aku pusing
harus menjelaskan terus-menerus kepada mereka. Aku lihat memang ada sebagian
anak-anak yang memiliki imajinasi yang bagus dan memngambarnya dengan asyik
meskpun memang gambarnya terlihat acak-acakan tapi bukan itu yang aku inginkan.
mereka sedang asyik membuat karangan |
Aku lihat memang ada
beberapa murid yang kelihatanya asyik sekali mengarang. Kekuranganya mereka
terkadang tidak mengerti bahasa Indonesia dengan benar itu terbukti beberapa
kali mereka bertanya Bahasa Indonesianya ini apa. Untung saja aku mengerti
Bahasa Sunda jadi bisa menjelaskan Bahasa Indonesianya.
Setelah
mereka selesai membuat karangan, Karin berkata “sok saha nu bade kapayun trus
ngabacaken ceritana, teteh kasih hadiah”
“Abi teh”
“Abi atuh teh”
“Abi.. abi..” (maksudnya 'Abdi' yang artinya dalam Bahasa Indonesia 'Saya'). Kelas pun
menjadi heboh dan berisik. Aku lihat antusias mereka semakin tinggi bahkan
menurutku sangat berlebihan. Sampai-sampai Karin hampir jatuh karena anak-anak
mengerubuninya. Untung saja aku sudah menyelamatkan diri terlebih dahulu,
menjauhi mereka dan pergi keluar untuk membuat permainan.
Setelah kejadian itu
ada yang berani meminta premen kepadaku. Kemudian aku bertanya “kalian
mau dikasih hadiah?”
“MAUUU” jawab mereka
“Kalau teteh kasih
hadiahnya BATU gimana?”
“Alim atuh, kango naon
batu, teas” (ngga mau, baut apa batu, keras). Aku nyengir saja melihat mereka
bersungut-sungut. Hihihi.. kejamnya, disangka beneran mau ngasih hadiah eh
malah becanda.
Aku menyuruh mereka
membuat lingkaran kecil kemudian aku membuat permainan yaitu Cerita Berlanjut.
Permainanya mudah sekali yaitu melajutkan kembali cerita teman yang ada
disampingnya. Satu putaran selesai tapi yang lucunya mereka hanya melanjutkan
beberapa kata saja dan ceritanya cuman muter-muter disana saja. Seperti ini,
dipasar aku melihat makanan kemudian diki melanjutkan cerita ahmad, makananya
enak sekali dilanjutkan lagi oleh teman yang disampingnya, aku jadi lapar, aku
makan ayam. Setelah itu balik lagi ceritanya kesana. Ckckck.
Ada lagi hal yang sangat konyol, ketika aku membahas pelajaran IPS anak-anak tidak mau disuruh menulis, katanya cape harus nulis terus. nah loh? aku jadi keingetan soal jurnal dan laporan, aku juga cape nulis jurnal terus, boseeenn..seeen.. *lah curhat*. Aku menuruti kemauan mereka, menggantinya dengan memberikan pertanyaan kepada mereka. aku bertanya "Siapa Presiden Pertama Republik Indonesia?" dengan wajah polos mereka berkata "Jokowi". Lah ko jokowi? Pertanyaan selanjutnya, "siapa Gubernur Jawa Barat?" dan yang mencengangkan lagi mereka berkata "Jokowi". Hadeh.. Tiba-tiba kepala saya nyut-nyutan.
Ada lagi hal yang sangat konyol, ketika aku membahas pelajaran IPS anak-anak tidak mau disuruh menulis, katanya cape harus nulis terus. nah loh? aku jadi keingetan soal jurnal dan laporan, aku juga cape nulis jurnal terus, boseeenn..seeen.. *lah curhat*. Aku menuruti kemauan mereka, menggantinya dengan memberikan pertanyaan kepada mereka. aku bertanya "Siapa Presiden Pertama Republik Indonesia?" dengan wajah polos mereka berkata "Jokowi". Lah ko jokowi? Pertanyaan selanjutnya, "siapa Gubernur Jawa Barat?" dan yang mencengangkan lagi mereka berkata "Jokowi". Hadeh.. Tiba-tiba kepala saya nyut-nyutan.
Selama aku mengajar kadang suaraku menjadi serak saking banyaknya ngomong karena mereka itu terlalu lincah dan tidak mau diem. Sebenarnya meskipun mereka itu nakal, ngga mau diem
waktu di kelas tapi pada dasarnya mereka anak-anak yang baik dan cerdas.
Selain dari Taman
belajar, Program Kerja dari Divisi Pendidikan itu ada Workshop IT
yang sasaranya adalah anak remaja. Meskipun hujan tapi acaranya berjalan dengan
baik hanya saja menurutku waktunya kurang. Aku sempat beberapa kali mengobrol dengan
pesertanya. Aku merasa prihatin mendengar cerita mereka bahwa di sekolah, mereka tidak pernah mendapatkan praktek computer, mereka cuman mempelajari
teori saja. Ya kalau membahas masalah pendidikan di Indonesia memang ngga ada
habisnya. Aku cuman melihat ada kesenjangan masalah pendidikan antara di kota dengan
di desa, seperti fasilitas yang serba minim berbeda sekali dengan sekolah yang
ada di perkotaan.
Meskipun mereka cuman
mendapatkan pelajaran seadanya dan fasilitas yang serba minim tapi aku melihat
ada harapan dibalik tatapan mereka. Harapan untuk mendapatkan ilmu yang lebih
baik dan ada kesunguhan dalam menggapai cita-cita. Serta harapan menjadi orang yang berguna kelak ketika dewasa dan bisa memajukan
desa mereka.
teman-teman seperjuangan, menjadi guru dadakan di Desa Sukarame |
Begitulah anak-anak desa sukarame ini. Aku
merasakan kehangatan dari wajah-wajah polos mereka. Aku senang sekali berada
disana karena orang-orangnya begitu ramah. Tibalah diujung waktu yang
mengharuskan kita meninggalkan desa tersebut. Perpisahan ini membuat kita
terharu mengingat selama ini penduduk disana telah begitu baik menerima kita.
Aku tidak ingin
menangis karena masih banyak lagi perjumpaan dan perpisahan yang akan
menghampiri. Aku hanya ingin tesenyum meninggalkan desa tersebut karena ketika
datang pun aku membawa senyuman kepada mereka. Aku akan selalu mengenang mereka
dan belajar untuk menjadi seperti mereka yang selalu ramah dan berbaik hati
kepada siapapun.
3 komentar